Pacaran
Setelah Menikah.
Karya : Syafrina
"Siska, ada yang naksir kamu.” Bisik Mirna
lembut di telinga sahabat karibnya.
“Siapa?”
Tanya Siska datar.
“Itu,
siganteng Imbran. Tadinya aku yang naksir dia. Eh dia malah naksir kamu.”
“Dari
mana kamu tahu kalau dia naksir aku?”
“Dia
bilang terus terang padaku. Dia juga titip salam untukmu.”
“Terimakasih
kawan. Aku belum mau pacaran.”
“Ih.
Siska. Kita ini sudah besar, sudah SMU, wajarlah kalau kita mulai mengenal
pacaran. Zaman sekarang jangan sok suci. Kuno kalau nggak pacaran.”
“Kesucian
diri itu memang harus dijaga, sayang. Allah anugerahkan kita tubuh yang indah
dan kita harus menjaga dengan menutupinya. Jangan sampai orang lain melihat
perhiasan kita. Misalnya dengan menutup aurat seperti ini.”
“Biasalah
kalau kita cuma pacaran saja. Kita tidak menjurus kepada hal-hal negatif.”
“Mirna,
pacaran itu dilarang oleh agama. Yang dihalalkan hanya satu yaitu pernikahan.
Kalau kebelet ya nikah saja dan aku belum mau itu.”
Hilang
akal juga Mirna melihat tingkah sahabat karibnya itu. Dia benar juga ya.
Bagaimana dengan aku yang sudah terlanjur menerima cinta Farid? Kalau aku
putuskan begitu saja tentu akan menyinggung perasaannya.
Dari
jauh Imbran mengamati mereka berdua. Hatinya memutuskan untuk menemui mereka.
Bergegas siganteng itu melangkah cepat menuju gadis idamannya. Memandang
wajahnya saja rasanya sudah mengobati rindu yang berkepanjangan.
“Siska,
Mirna.” Dia memanggil sambil bergegas mendekat.
“Ya
Imbran, mengapa lari-lari begini?” Tanya Siska bersikap biasa.
“Aku
lapar. Kita makan siang yuk.”
“Kamu
sendiri saja, aku tidak lapar.” Siska menolak.
“Ayolah,
sekali-sekali aku traktir kalian.”
Tak
tega melihat Imbran yang memelas, akhirnya mereka bertiga makan di kantin
sekolah.
“Kalau
tidak keberatan, kita pulang sama-sama ya. Rumah kita kan berdekatan.” Imbran
selalu saja mempunyai alasan agar selalu dekat dengan gadis pujaannya.
Sedangkan Siska hanya bersikap biasa-biasa saja demi menjaga persahabatan.
Sore
itu Siska bersiap dengan gamis syar’inya. Bungkusan tas mukenah dijinjing di
tangan kiri. Dia melangkah ke rumah ustadz Rudi guna mendapatkan ilmu agama.
Sesuatu yang jarang dilakukan anak muda zaman sekarang yang terlalu asyik
dengan handphone.
“Siska,
Siska. Mau kemana?” Terlihat Mirna memanggil dari jauh. Dia bersama Imbran dan
Farid pacarnya.
“Oh.
Aku mau ke rumah Ustadz Rudi.” Jawab Siska lembut.
“Mengapa
ke sana? Bukankah ada sinetron bagus malam ini?”
“Tidak
lama kok. Ayo Mirna, Farid, Imbran ikut aku. Kita jalan bersama.”
“Tidak
mau ah. Malu. Lagipula aku tidak bawa mukenah.”
“Jadi
tujuan kalian kesini apa?”
“Mau
main ke rumahmu.” Jawab Imbran
“Ayolah,
tidak apa-apa kok. Saya ambil mukenah satu lagi untukmu. “
“Baiklah”
Jawab Mirna menyerah.
Sesampainya
di rumah Ustadz, mereka langsung mengambil air wudlu dan shalat Magrib
berjamaah. Dilanjutkan dengan shalat sunat sesudah Shalat Mangrib, lalu membaca
Al Quran. Setelah semua selesai, mereka duduk dekat Sang Ustadz.
“Assalamualaikum
Warahmatullahi wabarakatuh.” Ustadz memulai pengajian.
Walaikum
salam Warah matullahi wabarakatuh.” Mereka menjawab serentak.
“Selamat
malam anak-anak semua. Siska mengapa ramai begini? Biasanya kan kamu sendiri?
Tanya ustadz sembari meneguk teh manis panas yang disajikan isterinya.
“Ayo
semua, airnya diminum.” Kata beliau ramah. Di samping mereka sudah terhidang
segelas teh manis dan sepiring kue.
“Iya
Ustadz. Kami tadinya mau main ke rumah Siska. Taunya diajak ke sini. Apakah Pak
Ustadz keberatan menerima kami?” Imran menjawab ragu- ragu.
“Jelas
tidak nak Imbran. Bapak malah senang kalian mau ke sini. Jadi pembahasan kita
sekarang apa, Siska? Tanya ustadz kepada murid kesayangannya.
“Ini,
ustadz. Bagaimana hukumnya pacaran?”
“Lho
kok pembahasannya mengenai pacaran. Jangan-jangan kalian sudah mengenal cinta,
ya?” Godaan Ustadz membuat mereka tersipu malu. Imbran melirik kearah Siska yang
bersikap tenang-tenang saja.
“Hakikat
pacaran adalah hubungan antara pria dan wanita yang memiliki rasa suka satu
sama lain tanpa adanya ikatan pernikahan. Pacaran di era modern saat ini sudah dianggap lumrah.
Banyak kita lihat pasangan yang sedang pacaran di lingkungan sekitar kita seperti
di mall dan café. Mereka bermesraan layaknya sepasang suami-isteri tanpa
mempedulikan lingkungan sekitar mereka.” Pak Ustadz berhenti sejenak kemudian
melanjutkan.
“Jelas
pacaran itu dilarang agama. Tidak boleh karena setan itu ada dimana-mana dan
mempengaruhi kita. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidaklah sekali-kali
seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali setan akan menjadi
yang ketiga.” (HR Tirmizi 2165, Ahmad(1/26), dan disahihkan al-Albani), dan
juga dalam hadist Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari
besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan
mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20:211. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini Shahih).”
“Ustadz,
bagaimana kalau kami pacaran secara syar’i? Bukankah itu boleh?”
“Pacaran
secara syar’i itu hanya tipu daya setan supaya mereka bisa membawa anak cucu
Adam agar terjerumus kedalam dunia yang penuh dengan maksiat (pacaran), artinya
pacaran secara syar’i itu adalah haram. Apa pun alasannya tetap saja haram
karena zina itu bukan hanya saja bersentuhan tapi banyak jenisnya, seperti zina
mata, zina hati, Zina mata karena melihat, zina kedua telinga adalah karena
mendengar, zina lisan adalah berbicara, zina tangan adalah dengan meraba atau
memegang (wanita yang bukan mahram), zina kaki adalah melangkah, dan zina hati
adalah menginginkan dan berangan-angan, lalu semua itu dibenarkan
(direalisasikan) atau didustakan (tidak direalisasikan) oleh kemaluannya. Setan
tidak pernah mengajak berzina tapi mencari peluang untuk mendekatinya, jadi
sebaiknya kita harus menghindari interaksi dengan lawan jenis.”
“Lantas
bagaimana ustadz?”
“Hanya
ada satu yang boleh yaitu pernikahan. Alangkah indahnya pacaran setelah menikah,
karena setiap hari kita merasakan indahnya jatuh cinta, cinta yang selalu
membuat kita bahagia bersemangat menikmati hidup dan membuat kita merasa di
dunia indah semuanya.”
“Jadi
bagaimana cara kita untuk menahan rasa suka terhadap lawan jenis?”
“Cinta
merupakan anugerah luar biasa yang Allah berikan kepada umat manusia. Namun
disaat itulah setan menggunakan senjata untuk menggoda manusia, dan celakanya
banyak manusia yang terbuai rayuan setan.”
“Kalau
begitu kami menikah saja ustadz.” Jawab Farid sambil melirik Mirna.
“Menikah
itu tidaklah seindah yang kita bayangkan. Kita bisa bermanja-manja, pergaulan
halal. Tapi ingat. Tanggung jawab dan beban berat berada di pundak kita. Kita
harus mencari nafkah untuk menghidupi anak, isteri. Kalau yang perempuan harus
bisa memasak mencuci, jaga anak, menjaga suami. Dan banyak lagi yang lain
sedangkan diusia kalian yang masih terlalu muda, belum sanggup memikul beban
berat itu.”
“Kalau
menikah itu tidak gampang mengapa banyak orang yang menikah?”
“Itu
juga kewajiban bagi pemuda dan pemudi yang sudah mampu. Mampu dalam arti kata
lahir dan bathin. Dia sudah bisa menunaikan segala kewajibannya masing-masing.
Malah berdosa kalau seseorang yang sudah layak menikah tapi tetap saja
membujang.”
“Ternyata
rumit juga ya ustadz.”
“Tidak,
kalau kita jalani menurut alurnya. Kita harus bisa membedakan antara cinta dan
nafsu. Kalau cinta pasti akan berusaha untuk menuju ke pernikahan yang diridhoi
Allah, sedangkan nafsu hanya cinta
sesaat yang datangnya dari setan. Jadi kita harus mengontrol nafsu agar tidak
terjerumus ke lembah zina.”
“Bagaimana
caranya kalau kita terlanjur suka pada wanita dan mencintainya ustadz?” Tanya
Imbran.
“Patuhlah
kepada kedua orang tua, berpuasalah, rajin membaca Al Quran, ikutilah seperti Fatimah yang suka kepada Ali
secara diam-diam. Lalu menunggu lamaran dari Ali, atau kisah cinta Khadijah
dengan Rasulullah SAW yang terkenal sangat indah dimuka bumi ini.”
“jadi
kesimpulannya pacaran syar’i itu dalam Islam hukumnya haram. Kita sebagai
generasi milenial seharusnya menjauhi yang namanya pacaran, karena pacaran itu
hanya membuang waktu saja. Sebaiknya kita melakukan hal-hal positif. Jangan
pernah kita turuti hawa nafsu yang akan membawa kita terjerumus ke dalam api neraka.”
Tak
terasa waktu Isya sudah masuk. Kami kembali mengambil air wulu. Farid
mengumandangkan Iqamah. Dan Pak Rudi sebagai imamnya. Setelah Shalat Isya
barulah mereka pulang ke rumah masing-masing.
Rumah Mirna tidak terlalu jauh memungkinkan mereka pulang dengan diantar
Farid dan Imbran.
Keesokan
harinya Nampak keempat remaja sedang duduk di bangku taman sekolah. Mereka
asyik berbincang mengunyah makanan yang dibeli di warung sekolah.
“Siska.”
Imbran memulai pembicaraan.
“Ya,
Imbran,”
“Sebenarnya
semenjak dulu aku menyukai kamu. Tapi setelah mendengar pengajian semalam,
sepertinya ditunda deh.” Ucap Imbran tertawa.
“Tidak
apa-apa Imbran. Aku sudah tau kok.”
“Dari
siapa kamu tahu?”
“Dari
Mirna tuh.”
“Farid.”
Sekarang giliran Mirna yang bicara.
“Ya
Mirna. Ada apa?”
“Ada
sesuatu yang perlu kita bicarakan.”
“Bilang
saja, Mirna. Tidak apa-apa.”
“Sebenarnya
kita sudah membuat kesalahan. Rupanya pacaran itu tidak boleh, sedangkan kita
sudah terlanjur menjalin hubungan ini.”
“Kamu
menginginkan kita putus?”
“Tepatnya
aku mau menganggapmu sebagai saudara yang akan melindungiku.”
“Boleh.
Aku juga takut dosa.”
Akhirnya
mereka mengakhiri hubungan perpacaran dan mengalihkan ke persaudaraan. Dengan
begitu. Semua sudah seperti kakak beradik. Memang tidak mudah menjalaninya.
Semua butuh proses. Namun mereka mengakui bahwa persaudaraan lebih utama
daripada pacaran yang hanya mengumbar dosa.
Sumber bacaan : nadiya shallina.kompasiana.com
1 Komentar
Terima kasih
BalasHapusBerkomentarlah dengan bijak