KECANDUAN MENULIS.

                                       Kecanduan Menulis.

Karya   :  Syafrina, S.Pd.SD


                 Ridha meraih tas sekolahnya. Di sana terdapat beberapa buah buku. Diambilnya salah satu buku yang berisi karangannya. Dia biasa menulis setiap hari. Ada saja yang menjadi topik tulisannya. Tadi siang dia menyaksikan perkelahian antara Arga dan Marko. Arga pendiam dan selalu mengalah. Sedangkan Marko yang nakal selalu usil pada setiap siswa.

Perlahan dia membuka buku dan menuliskan kejadian tadi.

            “Awas….awas…awas…. bos mau lewat, saya tidak akan menghindar.” Marko berjalan cepat tanpa peduli mengenai kawan lainnya. Banyak anak-anak yang ditabraknya.

            “Kalian menghindar napa. Jelas-jelas aku mau lewat.” Katanya sambil menyenggol Arga.

“Marko, hati-hati kalau berjalan.” Teriak Arga sambil berusaha bangkit dari jatuhnya.

“Apa kamu bilang? Makanya jelas-jelas aku mau lewat, kamu masih berdiri di jalan.”

“Kamu tu kalau jalan minta permisi, dong. Jangan enak sendiri.”

“Kamu menantangku, Hah…” suara Marko meninggi.

“Tidak, Marko. Jangan buat keributan, sebaiknya kita bersahabat baik.”

“Jangan mengguruiku. Kamu takut sama aku. Bilang saja tiak berani melawanku.” Kata Marko mengepalkan tinjunya.

Anak-anak lain berkerubung. Marko semakin brutal.

“Kalau kamu berani, ayo lawan aku.” Marko memancing emosi Arga dengan mencolek-colek pinggangnya.

“Jangan begitu Marko. Aku tak mau berkelahi.”

“Alaaah. Bilang saja kamu takut.”

Marko menarik  kerah baju Arga dan melayangkan sebuah pukulan di wajah yang membuatnya terhuyung. Arga tetap menghidari perkelahian, namun Marko selalu menghalangi langkah Arga yang akan pergi.

Sebuah pukulan melayang kearahnya ditangkap dengan tangan kiri lalu mendorong Marko hingga jatuh tersungkur. Arga tetap berdiri tenang dengan kuda-kuda yang kokoh tapi tidak kelihatan.

Marko menyerang lagi dengan penuh emosi. Kali ini tinjunya megarah ke perut dan ditangap manis oleh Arga. Anak penyabar itu mencengkram tangan Marko dengan kuat lalu memutarnya kebelakang dan menekuk pinggang anak jahil itu dengan lututnya. Marko benar-benar tidak bisa berkutik

“Apakah kamu ingin melanjutkan perkelahian ini, Marko ?” Arga bertanya dengan tenang sambil terus mengunci.

 “Tidak, Arga, maafkan aku.”

“Benar, kamu tidak akan mengulangi lagi ?”

“Aku tidak akan mengulanginya lagi.”

“Termasuk kepada orang lain ?”

“Iya, Arga. Aku takkan pernah jahat lagi. Lepaskanlah aku.”

“Awas kalau kamu brutal lagi, kamu akan berurusan denganku.” Arga melepaskan cengkramannya. Dia mendorong Marko hingga jatu tersungkur.

“Tidak Arga, maafkan aku.”

Arga melihat kesungguhan dimata Marko menjabat tangannya. Mereka berdua bermaaf-maafan dan berteman lebih baik dari semula.

            Ridha berhenti sejenak dan memeriksa tulisannya. Rasanya cukup untuk kali ini, lain kali bisa ditambahkan ide lain.    

            “Ridha, ayo makan siang.” mendengar ibunya memanggil, dia baru sadar kalau belum makan siang.

            “Iya, Bu. Ridha baru saja mengarang cerita.” Jawab Ridha sambil melangkah keluar menemui ibunya.

”Walaupun kamu kecanduan menulis, jangan sampai melalaikan yang lain, makan, shalat, belajar juga harus  tepat waktu. Apakah kamu sudah Shalat Zuhur ?”

“Sudah, Bu. Pas pulang sekolah tadi Ridha Shalat dan mengaji.”

“Sudah berapa banyak karangan yang kamu buat ?” Ibunya bertanya sambil menyenduk nasi dan sayur ke dalam piring.

“Sudah 70 halaman,  kalau sudah  selesai sampai 80 halaman, Bu Guru akan membantu mengirim ke penerbit, Bu.”

“Bagus, Nak. Nanti biayanya ibu bicarakan dengan ayah.”

Selesai makan, Ridha membantu ibu membereskan meja makan dan mencuci piring, kemudian duduk-duduk di teras rumah. Tak ada pekerjan yang akan dibantu. Ibu yang saban hari selalu di rumah mempunyai banyak waktu menyelesaikan semuanya.

Rumah dan halaman selalu bersih. Seluruh ruangan ditata rapi dan wangi. Bunga-bunga di halaman dan di teras rumah berjejer sedemikian rupa. Ridha sangat betah di rumah yang asri itu.

‘Akan kubuat karangan mengenai rumahku ini.’ Ridha berlari ke kamar mengambil buku dan pena. Hayalannya mulai berkelana. Penanya menari-nari lincah di atas kertas putih meninggalkan jejak kata-kata yang indah dan enak dibaca.

Dia terus menulis tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya. Semua terurai dengan rinci. Urutan dalam cerita berbolak-balik entah kemana. Kesalahan demi kesalahan tidak dicoretnya. Dia terus menulis sampai selesai.

 Tanpa ia sadari ayahnya berdiri dekat mejanya menulis. Beliau tersenyum-senyum memandangi anaknya yang asyik melanglang buana di dunia hayalan.

Laki-laki itu menunggu dengan sabar. Ridha belum juga berhenti menulis. Banyak halaman yang sudah berisi. Entah apa isi cerita anak ini. Ridha mengangkat wajahnya. Membaca ulang dengan tersenyum.

“Assalamualaikum, Ridha.” Ayah memanggilnya pelan agar Ridha tidak terkejut.

“Walaikum salam. Ayah sudah pulang ?” Ridha berdiri menyalami dan mencium tangan ayah.

“Lama sekali menulisnya ?”     Ayah duduk di kursi sebelah Ridha.

“Mumpung idenya ada, ayah.”

“Pantas tidak sadar ayah datang.”

“Sudah lama, Ayah ?”

“Belum, baru sepuluh menit.”

Ridha membimbing ayahnya masuk ke rumah. Tulisan tadi disimpan di dalam tas. Besok pagi akan diserahkan kepada Bu Rina untuk diketik. Sudah dua cerpen dia kerjakan dalam sehari. Benar- benar luar biasa. Semua tanpa beban.

Jam dinding menunjukkan pukul 16.00. waktunya mandi dan Shalat Ashar. Ridha mengambil handuk lalu berjalan menuju kamar mandi.

“Ridha mau mandi ?” Sapa ayahnya yang sedang istirahat sambil minum teh di depan TV .

“Iya, ayah. Mau mandi dan Shalat.”

“Jangan lama-lama. Ayah juga belum shalat.”

Ridha pamit kepada ayah dan ibunya untuk pergi mengaji di surau. Pukul 20.00 dia baru pulang. Tidak ada baginya waktu untuk main-main, toh kalau ada hanya sekedar penghilang suntuk sambil mencari ide.

Setelah berada di kamar, apa yang dia lihat, dia alami dan dia dengar, dituangkan kedalam bentuk tulisan. Merupakan keasyikan tersendiri baginya. Anak perempuan yang masih berumur 10 tahun dan masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar itu, mendapat bimbigan rutin secara invidual dari Bu Rina, sehingga semakin hari karangannya semakin bagus. tulisannya juga semakin indah dan cara menulisnya cepat.

 

 


Tentang Penulis

 


 

Perempuan bernama lengkap Syafrina, S.Pd.SD Lahir di Nagari Labuah Panjang, Kec. X Koto Diatas, Kab. Solok, pada tanggal 14 Mei 1978. Ia merupakan alumni di DII PGSD STAI SOLOK 2005, dan menamatkan S1 di UNIVERSITAS TERBUKA 2013 jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

                Mengabdikan diri menjadi Guru di SDN 21 Labuah Panjang mulai tahun 2000 sampai sekarang. Perempuan yang hobi menulis sejak kecil ini, diberi kesempatan untuk menyalurkan bakat menulisnya sehingga karya-karyanya bermunculan. Penulis dapat dihubungi melalui sms/wa 085374273628 atau email syafrina210@gmail.com

Buku yang telah terbit  :

1.        Tepian Mimpi

2.       Terbongkar!!! Kiat Menjadi Orang Sukses.

3.       Cinta Sejati Untuk Suamiku

4.        dll

 

Facebook : 

                 Website : https://bugurusyafrina.blogger.com




Posting Komentar

15 Komentar

  1. waah mantap buk na....jadi pengen bisa nulis cerpen.....😊👍💪

    BalasHapus
  2. Wah keren cerpen nya. benar benar menyajjkan realita. Mantap bu terus menulis😍

    BalasHapus
  3. Bagus Bu cerpennya. Saya bisa dengan jelas membayangkan adegan perkelahian Arga dan Marko.
    Kemudian pembaca akan belajar dari Ridha bahwa apapun di sekitar kita bisa jadi bahan tulisan

    BalasHapus
  4. Menarik lanjutkan bu tulusannya, semakin hari semakin terasah

    BalasHapus
  5. Keren, Ridha (dan pastinya penulis cerpen ini) sudah punya naluri penulis ya. Hehe ....

    Sedikit koreksi saja mengacu pada PUEBI, tanda elipsis (...) dalam penulisannya diawali dan diikuti spasi. Diakhiri titik (jumlah titiknya jadi empat) jika elpsis berada di akhir kalimat.

    Tanda tanya tidak dipisah dengan huruf sebelumnya.

    Kemudian kata sapaan (Bapak, Ibu, Nak, dsb) dalam kalimat langsung harus diawali huruf kapital.

    Satu lagi terkait shalat, seingat saya di KBBI sekarang yang baku itu salat. Tapi silakan dicek kembali ya Bu 😊🙏🏻

    Semangattt 👍🏻👍🏻👍🏻

    BalasHapus
  6. Bagus Bu..Dari dulu saya sangat ingin nulis cerpen tapi blm kesampaian

    BalasHapus
  7. Mantap cerpennya. Saya bisa larut dlm ceritanya..

    BalasHapus
  8. Mantuul bu Rina cerpennya turut hanyuut dalam imajinasi cerita 😄

    Dan terima kasih bu Ditta koreksiannya bisa dijadikan acuan saya menulis juga, saya suka gaya ibu berani koreksi dan berbagi pengetahuan yang sering terabaikan penulis 😊🙏

    BalasHapus
  9. Jadi inget waktu SD pernah berantem sama teman cowok. He...he... keren. Inspiratif.

    BalasHapus

Berkomentarlah dengan bijak