Pujilah Dengan Lantang, Salahkan Dengan Lembut.

 



 

 

 

Pujilah Dengan Lantang, Salahkan Dengan Lembut.


Karya    :  Syafrina, S.Pd.SD

Sesuatu yang terjadi sungguh diluar dugaan. Ternyata dalam ujian semester kemarin nilaiku persis sama dengan Lidya, teman sekelasku. Dia selalu juara kelas. Aku tak mengerti kenapa bisa terjadi.

Aku belajar dengan sungguh-sungguh Meski dalam keadaan demam sekali pun.

“Riko, kamu mencontek saat ujian, ya?” Bu Guru bertanya kepadaku lantang. Seisi kelas menoleh padaku.

Aku menundukkan kepala. malu setengah mati. Kalau di sampingku ada lubang, mungkin aku sudah melompat ke dalamnya.

Aku diam seribu bahasa. Memang aku yang mengumpulkan tugas paling akhir. Tapi aku sama sekali tidak mencontek hasil ulangan Lidya atau teman lainnya.

Aku memang pernah menghampiri mejanya hanya untuk meminjankan dia balpoint karena dia membutuhkannya. Bukan untuk mencontek.

Kalau tahu begini, mengapa aku tidak menyuruhnya saja mengambil ke mejaku?

Aku merasa hasil jerih payahku tak dihargai. Rasanya ingin pindah sekolah saja. Tapi mana mungkin. Ini adalah ujian akhirku di kelas VI semester I. Sebentar lagi akan ada ujian akhir.

Setelah pelajaran usai aku menuju ruangan Kepala Sekolah. Aku deg-degan.

Lapor  …

Tidak…

Lapor...

Tidak.

Ingin lapor takut dimarahi Bu Guru.

Kalau tidak Lapor, aku dituduh mencontek.

“Assalamualaikum.”
            “Walaikum salam. Ada apa, Riko?”

“Bu, saya tahu bahwa saya bukan orang pintar.”

“Duduk dulu, Nak.”

Aku kikuk duduk di kursi empuknya Bu Kepala Sekolah.

“Lalu Kenapa? Ada apa sayang?”

“Bu Guru menuduh saya mencontek. Padahal tidak, Bu.”

“Siapa yang bilang kalau Riko mencontek ?”

“Bu, Ratna, guru kelas yang memeriksa hasil ujian kami.”

“Baiklah, Ibu akan memanggil Bu, Ratna.”

Kepala Sekolah beranjak ke ruang majelis guru dan masuk kembali membawa Bu Ratna.

“Bu, Ratna. Coba saya lihat hasil ujian Lidya dan Riko.”
            Bu Ratna memperlihatkan hasil ujian kedua anak itu. Ternyata memang mirip. Walau pun banyak yang berbeda, tapi kemiripannya sangat kentara.

“Mirip sekali. Benar kamu tidak mencontek kan, Riko ?”

“Tidak, Bu.”

            “Kamu kemarin datang ke meja Lidya dan mencontek hasil ujiannya, Riko.”

“Tidak, Aku tidak melihat jawabannya. Aku datang kemejanya hanya untuk meminjamkan pena karena dia membutuhkannya.”

“Tapi kamu mengambil kesempatan salam kesempitan.”

“Sudah, Bu Ratna.” Kata  Bu Kepala Sekolah lembut.

“Bu, saya dituduh mencontek tidak apa-apa. Saya memang anak yang bodoh. Tapi kalau ibu yakin saya melakukannya, jangan permalukan saya di depan teman-teman.” Kataku pada Bu Ratna.

 “Tapi saya heran kenapa bisa mirip kalau dia tidak mencontek?”

            “Bu, saya akan ulangi membuatnya di hadapan ibu.”

“Baiklah.“

Aku menerima lembaran soal dan lembaran jawaban yang di photo Copy di mesin printer sekolah. Biasanya memang dilebihkan satu lembar untuk guru. Itulah yang difoto copy untukku.

Aku mengerjakan soal dengan sungguh-sungguh. Tak satu pun yang luput dari pencermatanku. Bagian-bagian tertentu aku ganti. Termasuk gambar bangun datar yang semula persegi kuganti dengan persegi panjang. Bangun ruang yang sebula balok kuganti dengan kerucut yang rumusnya lebih rumit.

“Bu, sudah selesai.” Ujarku singkat.

“Kumpulkan dan kamu boleh pulang.”

Saya menyalami dengan hormat Bu Ratna dan Ibu Kepala Sekolah. dan pulang dengan kecewa. Selanjutnya aku tak mau tahu apa yang terjadi yang penting aku bisa sekolah dengan benar.

*****

 

Sepeninggal Riko. Bu Kepala Sekolah menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi. Bu Ratna menuturkan keadaannya.

 “Bu, Ratna. Kita guru Sekolah Dasar. Seperti yang kita ketahui bahwa kita perlu pendekatan dengan siswa kita. Jangan mempermalukan mereka di depan umum. kalau kita sendiri yang mengalami kejadian seperti itu. Apakah Kita sanggup menerimanya?”

“Bu Ratna, kalaupun siswa kita bersalah. Apa pun kesalahannya. Tolong panggil dia. Nasihati dia empat mata saja. Tidak diumumkan di dalam kelas.

Siswa kita memang anak kecil tapi juga punya kepekaan seperti kita. Ketika SD dia mengalami hal yang tidak enak, sampai tua dia akan mengingatnya. Walau pun kita sudah meminta maaf, namun dihati tetap terpatri.

Bagaikan kita memaku sebuah tiang, walaupun pakunya dicabut, bekasnya akan tetap ada sampai kayu itu lapuk.

Bersyukur itu membawa berkah padanya. dia akan menjadi anak yang berprestasi luar biasa. tapi kalau setan yang merasuki alamat dia akan binasa.

Dia akan selalu menaruh dendam. membuang muka jika bertemu, tapi kalau kita perlakukan dengan baik maka jauh kita berada mereka akan menghampiri walau hanya sekedar untuk bersalaman.”

‘Maaf, Bu. Saya kaget waktu memeriksanya. dia kan murid biasa-biasa saja. “

“Belum tentu murid yang biasa-biasa saja mendapat nilai rendah. Semua anak berhak mendapat nilai tertinggi.

***

Keesokan harinya aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. Di sana sudah ada Bu Ratna.

“Selamat Riko, kamu mendapat nilai tertinggi di kelas. Kamu sungguh luar biasa. Bagaimana kamu bisa berubah sedrastis ini?” Tanya Bu Kepala Sekolah.

“Ibu saya sudah memasang wifi di rumah. Saya dimasukkan bimbingan belajar online. Terus saya juga dibolehkan cari-cari jawaban soal PR di hp. Kata ibu dan ayah. kalau sudah dapat, pelajarannya harus disimpan di kepala, jangan dikelapa.”

“Jadi kamu tidak main hp lagi?"

“Saya jarang main hp, Bu. Dilarang ayah dan ibu.”

“Bagus. kalau kamu patuh pada orang tua. sekarang kamu boleh gembira karena mendapatkan nilai tertinggi.         Maafkan ibu karena sudah menuduh kamu mencontek.”

Bu Ratna menyalamiku, meminta maaf. Terasa beliau membelai rambutku penuh kasih sayang. Kulihat ada penyesalan dipelupuk mata beliau.

Setelah semua selesai, aku meninggalkan ruang Kepala Sekolah setelah bersalaman. Senyum bahagia yang mengambang tidak mampu menutupi pikiranku yang kalut. Aku masuk kelas dengan peresaan tak menentu.

Sampai di kelas siswa yang lain memperlihatkan wajah yang berbeda. Ada yang langsung bersorak. Ada yang berbisik-bisik. Aku hanya bisa menahan tangis karena malu.

“Aku anak laki-laki. Aku harus kuat. sabar… sabar...”

Hanya tinggal satu semester lagi. aku harus menanggung semuanya….

***

Sabtu pagi pembagian raport. Semua berkumpul di halaman sekolah. Aku berbaris paling belakang. rasa malu masih menyelimuti bathinku.

Saat pengumuman ternyata aku memperoleh juara pertama menyisihkan semua sainganku yang semula aku tidak mendapatkan sepuluh besar.

Namun apa yang terjadi belum pernah pergi dari ingatanku. entah kapan akan terpatri didalam sanubari.

Seandainya aku menjadi guru nanti, aku takkan seperti itu. Aku akan memuji muridku di depan semua temannya dan menyalahkan hanya berdua dengannya seperti kata pepatah “Pujilah Dengan Lantang, Salahkan Dengan Lembut.”

 

Posting Komentar

13 Komentar

  1. Betul sekali bu...saya sering dapat curhat dari siswa tentang guru yg terkadang suka salah dalam bersikap. Memperlakukan mereka dengan kasih sayang akan lebih indah dan menjadikan kita lebih dekat dengan siswa.

    BalasHapus
  2. Kisah keren yg diambil dari kisah nyata

    BalasHapus
  3. Malunya jika kesalahan diumumkan..sekarang zaman android. Bisa japri...

    BalasHapus
  4. Keren ceritanya. Ide cerita dari kisah nyata ya??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Acuan sih..
      Coba baca lanjutannya.
      Disaat Saya menjadi Plagiator

      Hapus
  5. Iya... Masa sekolah dasar zaman sy belum ada yg namanya pelatihan, seminar buat bpk ibu guru, sehingga guru dianggap maha sempurna. Tekad bulat sy menjadi guru tak ingin hal serupa terulang utk di lakukan, alhamdulillah semua baik baik saja

    BalasHapus
  6. Luar biasa bagus kisahnya.... Fiksi apa non fiksi Bu. Kren banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apa ya...fiksi polesan..
      Coba baca lanjutannya
      Disaat Saya menjadi Plagiator.

      Hapus
  7. Ini versi cerpen dari tulisan tentang plagiator ya Bun
    Keren

    BalasHapus
  8. Langsung terasa masuk dalam cerita yang ibu sajikan.. Luar biasa cerita dan pembelajaran nya bu

    BalasHapus

Berkomentarlah dengan bijak