Pena.

Pena.

Karya  : Syafrina, S.Pd.SD



            Malam ini rasanya suntuk sekali. Ada apa gerangan? Padahal keadaan aman-aman saja. Atau mungkin karena aku tidak menulis hari ini?

“Bu, ada pena?” Tanyaku pada ibu. Biasanya ibu menyimpan pena yang sengaja kutinggalkan di rumah beliau.

“Tidak ada. Sudah habis dimainkan Dian.” Dian adalah anakku yang nomor dua. Umurnya tiga tahun. Dia suka mencoret-coret buku bekas.

“Nia ada pena?” tanyaku pada si sulung.

“Tidak ada. Bu.” Jawabnya singkat.

“Biasanya Nia menulis pakai apa?” Tanya neneknya.

“Pakai pensil, Nek.”

Pantang menyerah. Kubuka semua laci lemari, terus ke dalam tas tempat perlengkapan sirihnya nenek.

“Ibu coba cari di tas ngaji Nia ya.” Aku minta izin menggeledah tas anak sulungku. Memang aku yang membelikan tasnya. Tapi yang namanya privacy anak, aku harus membiasakan minta izin untuk menghormati hak masing-masing. Begitu juga kalau aku terpaksa membuka HP dan tas ayahnya, aku selalu minta izin.

“Iya, Bu . Mudah-mudahan ada.”

“Tap.” Kutampar nyamuk di dahi Dian. Berdarah. Ih banyak nyamuk. Kuambil obat nyamuk dan membakarnya bersama sobekan kertas telur. Dalam sekejap nyamuk hilang dan mati.

“Bu, asapnya terlalu banyak. Tolong matikan. Nanti kita batuk, tutup juga mulut dan hidung Dian. Nia tutup hidungmu Nak.” Ayahnya memberi perintah bertubi-tubi sambil menyodorkan sebuah sandal jepit kepadaku.

“Buat apa sandal jepit? Satu juga. Aduh… ada-ada saja tuh apak paja.”

“Apinya dimatikan pakai sandal jepit itu, Bu.”

“O ya, ya.”

“Plak… Plak… Plak… “ sandal jepit menapok kertas berasap, beradu dengan lantai. Asapnya mereda namun tak kunjung hilang. Kulanjutkan mencari pena sampai ke kolong tempat tidur dan lemari makanan. Aku yakin pasti ada satu pena disitu.

“Nah. Itu dia.” Bergegas aku menunduk ke bawah kolong meja TV.

“Awas, Bu, serangan robotnya tidak kelihatan.” Nia protes.

Kami memang sedang menyetel televisi yang kali ini filmnya tentang robot yang aku jarang menontonnya.

“Sebentar, ibu ambil pena dulu.”

“Ih ibu jahat. Nia jadi tidak melihat serangan robotnya tertutup sama ibu.”

“Maaf sayang. Ibu sudah mendapatkan penanya. Astaga Niiiaaaa, Penanya bolong.”

“Apa, Bu ?”

“Pena tidak ada isinya. Cuma kandangnya saja. Aduh sial.”

Aku mulai putus asa. Malam semakin larut. Ahk, bakalan mengendap ide menulisku selama satu malam di kepala. Kalau keburu hilang pas bangun pagi, rugi kite. Namun proses pencarian tetap kulakukan.

Tadi aku lupa membawa pena dari rumah. Kupikir di rumah ibu juga ada pena. Biasanya aku selalu meninggalkan satu atau dua pena di dalam lemari. Rupanya Dianlah yang bikin ulah, setiap dia menemukan pena, selalu dipakai buat main, ada saja yang akan dicoretnya.

Lagipula tadi siang aku pergi ke ladang bersama Nia untuk mencari kemiri usang sambil olahraga. Kami asyik sekali mengais tanah dengan golok balengkong.

“Nah, ini dia. Dari tadi kek.” Segera  kupungut sebuah pena merah diantara tumpukan buku-buku bekas. Sebuah pena merah tanpa tutup dan isinya masih ada separo.

“Mudah-mudahan bisa buat nulis.” Kataku dalam hati.

Aku merasa risih kalau dalam sehari tidak bisa menulis, sepertinya ada yang kurang. Apalagi aku harus menyelesaikan buku keempat yang akan launching bila ada kesempatan bersama teman-teman penulis lainnya.

Aku mulai menulis. Penaku menari-nari dengan lincahnya. Tak peduli dengan tulisan yang cakar ayam atau bercampur dengan gaya  stenografi yang tak pernah kupelajari. Harus cepat atau kehilangan ide. Aku terus menuangkan ide-ide yang sudah menumpuk dari tadi. Lagi… lagi dan lagi…

“Nia, matikan TV. Sekarang sudah pukul 22.00. lagipula ada hujan petir. Anak sekolah harus tidur pukul 21.00.” Kata ayahnya menarik selimut.

“Aduh, perutku perih.” Sengaja tidak makan malam untuk menjaga berat badan. Rupanya itu berdampak buruk pada kesehatan lambung yang kelebihan asam. Kuemut sebutir obat maag yang selalu ada dalam tas. Kulanjutkan menulis sambil meninabobokan Nia. Sudah umur 8 tahun datang manjanya minta ditidurin. Kuusap-usap punggungnya sampai dia tertidur.

Nia sudah tidur diikuti ayah dan neneknya. Penaku menari lindah di atas helaian kertas. Menghimpun  ide-ide yang berserakan. Semakin lama semakin cepat. Tidak boleh ada yang ketinggalan. Biarlah semua berantakan, nanti akan diedit ulang berkali-kali sampai aku yakin tulisan itu layak menjadi sebiah cerita yang menarik.

Tak lama menulis tangan sudah merasa pegal. Manja karena sudah biasa dengan laptop. Apalagi sebagai tenaga pendidik  sekaligus ibu rumah tangga, saban hari disibukkan dengan rutinitas yang bejibun.

Dari pagi hingga sore bekerja keras, lalu malam nenulis pula. Giliran mata ini  yang ikutan mengantuk. Setelah lima belas menit menulis, kuhitung tulisanku. Lumayan sudah lima  halaman , besok tinggal ketik dan menambah ide. Kumatikan lampu, tarik selimut dan tidur.

 

 Cerpen ini terdapat dalam buku solo keempat Syafrina yang berjudul Penulis Tangguh

 

 

 


 

Dapatkan Buku Solo perdana Syafrina yang berjudul 'TEPIAN MIMPI' yang juga merupakan buku pertama





Posting Komentar

8 Komentar

Berkomentarlah dengan bijak